serpihan Novel Palestina, Gadis Kecil di Tepi Gaza


Camp pengungsian, Gaza, 2009
            Sosok Palestine memandangi selembar foto keluarganya yang sempat ia selamatkan dari barang-barang lainnya. Sesaat selepas gadis kecil itu berdiri diam terpaku, menatap tiga sosok manusia jatuh telungkup dan terpendam pasir serta bebatuan dari bangunan rumah yang disinggahinya. Tepat di kota Gaza, malam hari. Pada tanggal 03 Januari 2009, beberapa kota tiba-tiba dihancurkan oleh bom-bom dan rudal yang membabi buta dari negara seberang, Israel. Semua terjadi begitu cepat, reruntuhan bangunan yang terkena ledakan bom-bom pun memakan korban jiwa. Satu demi satu nyawa jatuh bergelimpangan, jalanan penuh dengan orang-orang yang berteriak histeris dan menangis sedu sedan. Seolah-olah itu adalah tangisan terakhir mereka. Suara sirine ambulans pun saling beriringan keluar masuk area kota Gaza malam hari itu. Benar-benar terlihat kacau dan dalam keadaan genting, sementara sesosok gadis kecil berusia sembilan tahun yang sama sekali tidak tahu apa-apa tentang apa yang baru saja terjadi tengah terluka di bagian kepala dan lututnya itu meringis kesakitan.

            “Ibu, Ahmeed, Zaynab, huhuhu…, kalian jangan tinggalkan aku sendiri di sini. Ibu, di mana ayah? Di mana?” Palestine menengadahkan kepala ke atas, tepat pada langit-langit rumah yang tengahnya telah berlubang. Lubang yang besar dan reruntuhan itu mengenai tubuh ibunya serta dua saudaranya yang lain. Sedangkan ia, sosok Palestine terpisah dari ketiganya sebab saat itu ia berada di dalam kamarnya yang jaraknya sedikit jauh dengan ruang keluarga tempat di mana ledakan bom itu jatuh tepat di atas rumah dan titik itu. Kepalanya yang terkena reruntuhan batu dan melukainya di sekitar pelipis, sedang ia terjatuh tatkala tengah berlari menghampiri sang ibunda dan dua saudaranya. Lutut yang sebelumnya mulus dan putih itu kini bersimbah darah merah segar, Palestine jatuh terduduk. Sebuah tangan menembus dari balik reruntuhan, dan Palestine tahu benar siapa pemilik tangan yang menyembul keluar dari dalam reruntuhan.

            Sebuah cincin yang selalu melekat di jari manis seorang wanita yang sangat dikagumi dan dihormatinya. Cincin emas tak bermata. Tangan halus yang terbalut dengan balutan pasir, seolah-olah menunjukkan sebuah tanda bahwa tubuh ibunya berada di sana. Gemetar tubuh Palestine saat menemukan posisi jasad ibundanya yang tak lagi menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Suara sirine berhenti tepat di depan rumahnya, terdengar suara langkah kaki petugas bersepatu booth masuk ke dalam dan mencari-cari korban ledakan bom. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya erat-erat, takut kalau-kalau yang datang itu bersamaan dengan para tentara Israel yang hendak membunuhnya. Gadis kecil itu tahu benar dari sang ayah bahwa jika tiba-tiba terjadi suatu musibah dan kekacauan di dalam kota Gaza, berarti akan ada peperangan besar antara  Palestina dengan Israel. Suara langkah kaki itu semakin mendekat, mendekat dan mendekat. Tubuh gadis kecil itu gemetaran, apa yang akan dilakukan oleh orang-orang di luar? Mungkinkah mereka akan membunuhnya juga? Membunuh Palestine. Tangisan kecil gadis kecil itu ditemukan oleh seorang petugas ambulans yang tengah mencari korban yang masih dinyatakan hidup dan selamat. Suara langkah kaki itu kini terhenti tepat di hadapannya, sepasang sepatu booth hitam seakan meminta Palestine untuk menengadahkan wajahnya ke atas, menatap sosok lelaki berjubah putih yang dikepalanya terpasang sebuah helm kecil dan ditengahnya menyala lampu senter kecil untuk menerangi jalannya, sebab kota Gaza terselimut dalam kegelapan. Lampu-lampu padam terkena oleh ledakan bom dan rudal yang membabi buta.
            Sosok lelaki itu membungkuk ke arahnya dan menyentuh kepala Palestine, “Gadis kecil, siapa namamu?”
            “Palestine,”
*
The Gaza’s Hospital, malam hari
            Suara dentuman bom dan rudal diwarnai dengan semburan api yang menghiasi langit kota Gaza malam hari itu, menjadikan sebuah sejarah yang tak akan pernah terlupa. Puluhan bangunan roboh dan hancur, memakan banyak korban yang masih belum bisa dihitung karena pastinya tubuh mereka tertimbun oleh bangunan rumah yang seharusnya menjadi pelindung hidup para penduduk Gaza. Warna api itu sama persis dengan kembang api yang selalu dilihat oleh gadis kecil itu, Palestine ketika tengah menonton acara televisi yang menayangkan tentang meriahnya pergantian tahun baru di awal tahun 2009, beberapa hari lalu.

            Tak terbayangkan, kini ia tengah melihat pancaran api itu seakan-akan menembus langit ketujuh. Sempat terbesit sebuah tanya di dalam benaknya kala itu, saat ia baru saja melihat jenasah ibunya yang baru saja ditutup oleh selembar kain putih, juga tubuh kedua saudaranya yang berada di samping ibunya. Menembus sebercak darah merah segar yang belum mengering itu pada kain putih. Seolah menjeritkan isi hati, yang terbunuh ini adalah orang-orang tak berdosa, mengapa harus ada darah? Mengapa?

            “Ya Allah, apakah memang benar semua ini adalah takdir untuk kami?” Palestine jatuh terduduk sementara di depannya tampak berlalu-lalang para dokter, suster dan pengantar korban yang ada di ambulans itu menuju ruang gawat darurat. Tangisan, kepiluan dan sikap ketidakterimaan serta ratapan semua orang di sekelilingnya membuat telinganya tak tahan untuk menampung semua itu. Mengapa di antara mereka tidak ada yang melihat dirinya, seorang gadis kecil tengah berdiri di depan jenasah keluarganya tanpa meninggalkan suara-suara pilu. Hanya tangisan kecil dan kesendirian yang kini ia rasakan, Palestine juga kehilangan ibu dan saudara-saudaranyaa, tetapi ia tidak pernah ingin menangis sepilu itu. Karena ayahnya sering berkata pada dirinya, “Palestine, jika suatu hari nanti kau saksikan anggota keluargamu mati di hadapanmu, janganlah pernah menangis sampai suaramu terdengar hingga membuat orang lain tertular untuk ikut menangis, janganlah kau meratapi kematian keluargamu, entah mungkin ayah, ibu, Ahmeed serta Zaynab. Sebab jika begitu, artinya kau tidak bisa menerima kuasa Allah atas takdir yang telah diberikan pada mereka, Palestine…, kau harus bisa menjadi seorang gadis yang berbeda, gadis Palestina yang kuat dan tidak lemah.”

            Air mata Palestine kembali tergenang, kedua tangannya pun ditengadahkan ke atas seraya ia berdoa dalam kebisingan suara-suara yang memekakkan gendang telinganya.
            Ya Allah, berikanlah mereka ketenangan di sisi-Mu, amien…
            Ketabahannya itu mengundang seorang pemuda yang kala itu pun juga baru saja kehilangan ayah dan ibunya. Dalam ratapan tangisan hingga memukul-mukul paha dan mencakar-cakari wajahnya, pemuda yang di tangan dan lututnya masih terluka dan bersimbah darah, dengan langkah kaki pincang ia menghampiri Palestine. Sesosok gadis kecil berusia sembilan tahun.
            “Assalamualaikum,” sapa pemuda itu sambil meringis menahan sakit di tangan dan lutut.
            “Waalaikumsalam,”
            “Di mana ayahmu?”
            “Tidak tahu,”
            “Jam berapa kau sampai di sini? Orang-orang Israel memang terlaknat, menyerang dalam posisi kita tidak melakukan apa-apa.”
            Palestine tersenyum tipis, “Satu jam yang lalu,”
            “Kenapa kau sama sekali tidak terlihat sedih melihat keluargamu tewas di tangan mereka? Apa kau benar berdarah Palestina? Atau jangan-jangan kau berdarah Israel tak punya perasaan sama sekali.” Tuduhnya pada Palestine semena-mena.
            “Perang ini tak akan pernah usai,”
            “Kau tahu itu, yang aku tanyakan kenapa kau tidak terlihat bersedih atas kematian mereka?”
            “Untuk apa?”
            “Coba kau lihat di sana,” pemuda itu mengarahkan Palestine di tempat orang-orang yang menangis histeris karena kehilangan keluarga mereka, bahkan kebanyakan semuanya masih balita. Seorang anak yang masih suci dan belum ternodai dengan apapun, mati semuda itu. “Jika kau tidak menangis, maka kau pastinya orang gila.”
            “Untuk apa?”
            Saking geramnya pemuda itu menghadapi si gadis kecil yang terkesan angkuh dan kaku itu, sampai tak sadar ia menghentakkan kedua kakinya yang terluka untuk menegaskan perasaan kesalnya.
            Palestine kembali menjawab, “Untuk apa aku harus bersedih seperti kamu dan mereka, jika aku sendiripun tidak tahu apakah setelah menit ini dan esok masih bisa hidup, bahkan jika aku mati esokpun, ibu dan dua saudaraku ini tak bisa menangisiku. Seseorang jika sudah berada di ujung tebing, masihkah ia menggunakan perasaannya untuk meratapi diri sementara ia sendiri sudah pasti tak akan pernah selamat”
            “Kau tidak tahu apa-apa, tentara zionis dan yang lainnya, kau gadis bodoh!”
            “Yang hanya kutahu, ayahku, dialah yang mendidikku seperti itu.”

Komentar

  1. semoga novel ini bisa bermanfaat dan laris manis :)

    BalasHapus
  2. YANG ADA HANYA AIR MATA KETIKA MEMBACA TULISAN'' YANG BERTEMAKAN PALESTINA DIAMBANG PENDERITAANYA........

    BalasHapus
  3. novel yang bagus. menyentuh hati.........

    BalasHapus
  4. novel nya di buat film aja..pasti bagus

    BalasHapus

Posting Komentar

komen dong...yuk!